-->

Sejarah Periklanan Indonesia Sampai Iklan Modern Mulai Muncul

Mulai dari bangun pagi hingga berangkat tidur dimalam hari, kita masyarakat kerap bersentuhan dengan iklan. Iklan-iklan tersebut mempersuasi pengamat sehingga secara tidak sadar telah dipengaruhi iklan. Hal itu seperti pemilihan style pakaian, merk jam-tangan, sepatu dan demikian juga barang konsumsi seperti makanan, minuman dan rokok, dan ketika membelinya, benda-benda itu secara tak sadar  sebenarnya mengacu pada merek tertentu yang pernah diiklankan.

Sebenarnya Iklan diperlukan produsen untuk mengumumkan produknya
dan juga diperlukan konsumen untuk mengetahui informasi mengenai produk yang dibutuhkan. Setiap hari berbagai produk consumer goods dikomunikasikan baik melalui iklan dimedia massa, media luar ruang maupun melalui kemasan yang menarik. 

Sejarah Periklanan Indonesia Sampai Iklan Modern Mulai Muncul

Periklanan modern di Indonesia diperkirakan hadir pada awal abad 20, semasa penjajahan Belanda, pada masa itu mulailah iklan atau advertentie untuk barang-barang import bagi orang Belanda di tanah jajahannya. Kemudian berkembang pesat ketika masa kemerdekaan dan masa pembangunan industri di Indonesia.

Bahasan dalam tulisan ini adalah ilustrasi atau penggambaran tokoh atau figur dalam iklan, karena ilustrasi dalam hal ini berperan sebagai alat persuasi visual. Berbagai gaya persuasi visual yang ditampilkan dalam iklan, ada yang menggunakan nilai-nilai lokal, namun ada pula yang menggunakan nilai-nilai global. 

Iklan dan periklanan tidak hanya bertujuan menawarkan dan mempengaruhi masyarakat untuk membeli barang atau jasa, tetapi juga turut menularkan nilai- nilai dan ideologi tertentu yang terpendam didalamnya. Ideologi barat seperti gender, cowboy, budaya mengadu nasib, desakralisasi etnik, degradasi norma ketimuran, demitosisasi, dan hedonisme, hal-hal semacam ini dalam iklan dikemas secara simbolik dan divisualisasikan seolah semuanya menjadi masuk akal. contoh ketika orang mengendarai motor Harley Davidson maka ia merasakan kebebasan berkendara karena harley davidson di buat dengan melambangkan kebebasan dari negara pembuatnya.  

Sejarah Dunia Periklanan Indonesia 
Periklanan masuk ke Indonesia sejak jaman kolonial Belanda  yang menurut sejarah periklanan Indonesia ditandai dengan terbitnya Bataviasche Nouvelles pada tanggal 8 Agustus 1744, dapat dikatakan sebagai lembaran iklan, karena sebagian besar berita yang dimuat adalah iklan perdagangan pelelangan dan pengumuman pemerintah VOC. 

Pada awalnya iklan-iklan surat kabar digunakan untuk kepentingan penjualan produk-produk konsumen dari Belanda kepada orang-orang Belanda di tanah jajahannya, kemudian juga ditujukan untuk khalayak pribumi, karena diberlakukannya politik balas budi atau politik “Ethis” oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal 1900an, ditandai dengan mulai munculnya golongan pribumi terpelajar yang berbahasa Belanda, sehingga ada dugaan bahwa dalam iklan juga digunakan unsur-unsur  yang berciri pribumi.

Selanjutnya media surat kabar dan periklanan berkembang pesat hingga mendatangkan pelukis-pelukis  iklan dari Eropa. Dari catatan sejarah periklanan, sejak jaman Belanda masyarakat di pulau Jawa mulai mengadaptasi adat Belanda, diantaranya adalah kebiasaan toast dengan minuman keras pada upacara resmi di keraton, diawali dari raja dan para bangsawan tinggi kemudian diikuti oleh bangsawan-bangsawan dengan tingkat yang lebih rendah dan seterusnya, sehingga pada jaman itu sesuatu yang ideal adalah menjadi Belanda. Iklan berperan dalam perubahan masyarakat di Jawa pada masa Kolonial.

Pada tahun 1942 Pendudukan pasukan Jepang di Indonesia dengan slogan
3A: Jepang Pelindung Asia, Cahaya Asia, Pemimpin Asia, sebagai kekuatan ekonomi baru bahkan mulai menggunakan media periklanan untuk menanamkan pengaruh politiknya, baik terhadap penduduk bumiputera maupun Tionghoa dan Eropa.

Menurut Riclef, untuk memusnahkan pengaruh barat (Belanda), pihak Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris serta menggantikannya dengan penggunaan bahasa Jepang. Hal ini berlangsung dari tahun 1942 sampai 1945.

Menurut buku sejarah Pers di Indonesia, di zaman Jepang, pers memang hanya digunakan untuk kepentingan propaganda balatentara Dai Nippon, guna menunjang usaha-usaha perjuangannya. Surat kabar yang boleh terbit juga sangat dibatasi, dan semua berada di bawah pengawasan ketat penguasa militer. Dalam media cetak koran dan majalah selalu ada artikel pelajaran bahasa Jepang untuk rakyat Indonesia, namun ternyata tidak mudah memaksa mengajarkan bahasa asing baru kepada bangsa Indonesia, maka penggunaan bahasa Indonesia menjadi lebih  marak. 

Di jaman penjajahan Jepang masyarakat Indonesia diharuskan mengikuti upacara "menghormat  Kaisar” yaitu berbaris dan membungkuk kearah  negara Jepang dalam kondisi terik matahari. Bahkan  teater  untuk tontonan  rakyatpun  menampilkan  tentang  fragmen-fragmen  interaksi masyarakat Indonesia dengan pasukan Jepang salah satunya adalah berjudul “Toeroet dengan Amat”. Tokoh Amat adalah orang Indonesia yang direkrut Jepang menjadi serdadu untuk berperang (majalah Jawa Baroe [12]), terlihat dari pakaian-pakaian pemainnya, yang pria memaki pakaian serdadu Jepang dan pemain wanita mengenakan kain-kebaya.

Sandiwara Rakyat Majalah Jawa Baroe
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Jepang kalah perang dan menyerah kepada sekutu. Jepang meninggalkan Indonesia dalam kondisi sudah terbentuknya semangat bangsa Asia yang anti Barat. Gejolak revolusi dan perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan masih terus berlanjut hingga Belanda mengakui eksistensi Indonesia.

Menurut Bondan Winarno setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949, perekonomian dan periklanan di Indonesia mulai menggeliat kembali dari kehancuran seusai perang kemerdekaan.
Tahun 1950an, rakyat Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit dari keterpurukan dan ketiadaan pasokan barang. Walaupun perusahaan-perusahaan besar milik Belanda seperti Unilever dan Borsumij masih ada, karena kurangnya pasokan maka rakyat pun mulai berdaya, barang- barang lokal pun mulai diproduksi dan diberi merek.

Meniru konsep Mahatma Gandhi “Swadeshi” Indonesiapun mempunyai istilah “Berdikari” singkatan dari berdiri diatas kaki sendiri, maksudnya negara yang dibangun berdasarkan kemampuan sendiri, bukan hasil dari pinjaman dan pasokan negara lain. Dengan segala keterbatasan, namun bangsa Indonesia memiliki jatidiri yang kuat dan tercatat bahwa saat itu hutang luar negeri Indonesia masih sedikit. Tahun 1959 terjadi  nasionalisasi perusahaan-perusahaan bekas milik Belanda dan orang- orang Belanda pemiliknya pulang ke negerinya, sehingga banyak perusahaan iklan milik Belanda yang tutup, hal ini memberikan kesempatan pada pengusaha-pengusaha iklan lokal untuk berkembang. Mulai bermunculan media cetak lokal dan biro iklan lokal, iklan-iklan mulai muncul dengan visualisasi kebanggaan akan Indonesia.

Tahun 1965 terjadi pergantian kekuasaan negara dari Orde Lama (Soekarno) ke Orde Baru (Soeharto), yang pada tahun 1968 mengambil kebijakan tentang Penanaman Modal Asing (PMA), berarti mulai dibukanya tameng perlindungan kepada usaha-usaha lokal yang pada saat itu baru mulai dan sedang berkembang, hingga tahun 1970an advertising agencies kelas dunia dari Amerika, Eropa, Australia dan Jepang mulai masuk dengan cara membuka perwakilan atau ber partner dengan perusahaan Indonesia. Mereka membawa budaya perusahaan dan konsep komunikasi dari negara asalnya dan mengaplikasikannya secara pragmatis kepada partner Indonesianya. Ada pula yang menyebut hal ini adalah awal dari era periklanan moderen di Indonesia. Kenyataannya Indonesia dianggap sebagai target market yang potensial bagi produk impor karena jumlah penduduknya yang sangat banyak dan sebagian besar masyarakat Indonesia terdiri dari orang-orang yang lugu atau rendah dalam taraf pendidikan dan cara berpikir.  Terlebih lagi pertumbuhan perekonomian yang cerah sejak orde baru membuat pasar Indonesia menjadi penting bagi produk-produk mancanegara yang berasal dari Amerika, Jepang dan Eropa. Pada tahun 1976 misalnya, sekitar 73% dari produk yang diiklankan adalah produk impor [14].

Dalam dunia  periklanan Indonesia mulai terjadi friksi budaya, yang beberapa tokoh periklanan senior menyebutnya “sinkretisme” dalam periklanan. Untuk memasarkan barang dagangannya, importir dan distributor barang-barang produksi luar negeri yang semula menggunakan biro-biro iklan lokal, mereka mulai menggunakan biro-biro iklan sesuai dengan asal barang tersebut, seperti barang-barang Jepang di tangani oleh biro iklan asal Jepang, demikian juga dengan barang-barang Amerika dan Eropa.

Periode Iklan Jaman Belanda
Iklan-iklan cetak berilustrasi pada awal tahun 1900-an masih di dominasi oleh iklan produk impor, walaupun ada sedikit produk lokal seperti teh, tembakau dan obat. Ilustrasi iklan pada masa ini masih sedikit yang menampilkan figur dan karakter Indonesia. Jika pun ada, ilustrasi figur Indonesia ini  diposisikan sebagai obyek atau pelengkap penderita, caranya dengan menampilkan secara frontal tampak depan atau tampak samping seperti meotret pesakitan, sedangkan figur Belanda pada saat itu  ditampilkan dengan pandangan menyudut atau tidak frontal. Pesan-pesan verbal masih sekitar manfaat produk dan keuntungan menjadi penyalurnya. Pesan belum menjadi single minded message. Pada iklan- iklan periode akhir   penjajahan Belanda sudah mulai muncul ilustrasi dengan figur ber karakter Indonesia, namun belum banyak berperan sebagai subyek dalam iklan, figur-figur itu hanya bersifat memeragakan. Penggunaan bahasa sebagian masih menggunakan bahasa Belanda, kalaupun ada bahasa Indonesia masih tergolong bahasa Melayu-pasar.

Iklan cetak jaman penjajahan Belanda (De locomotief )

Periode Iklan Jaman Jepang 
Dalam iklan,  yang sebelumnya  menampilkan  figur iklan berwajah Eropa  di ganti dengan figur  model iklan berwajah Jepang dengan sikap seperti figur Eropa, digambarkan dengan pandangan menyudut. Mulai muncul figur dan wajah Indonesia sebagai tokoh yang menjadi subyek atau tokoh dalam iklan. Contohnya iklan “Asia Katja Mata” mulai menggambarkan orang Indonesia sebagai “Tuan” yang mengenakan jas, dasi dan berkopiah, sedangkan tokoh mata-mata mengenakan jas dengan model topi yang sering dipakai orang Eropa. Slogan iklan bernuansa kewaspadaan akan perang. Ada pula iklan-iklan berslogan semangat Asia Timur Raya. Beberapa iklan menggunakan huruf Jepang, dan nama produsen menggunakan nama-nama Jepang. Dalam perioda ini  figur  berkarakter  Indonesia  mulai  muncul  sebagai  subyek  yaitu  sebagai tokoh yang sedang berdialog mengenai suatu produk.
Iklan cetak jaman penjajahan Jepang (majalah Djawa Baroe)

Iklan Periode Tahun 1950-an 
Karakter visual Indonesia pada iklan paling menonjol pada iklan-iklan periode
1950-an. Visual, penggambaran figur iklan banyak mengikuti figur ideal, tokoh
pria digambarkan memiliki tanda-tanda seperti tokoh idola masyarakat pada saat itu, tokoh yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dan saat itu adalah euphoria lepas dari belenggu penjajahan. Figur pria digambarkan ber jas, dasi dan berkopiah, sedangkan tokoh wanita digambarkan sebagai pendamping dan penyokong pria dalam bekerja, wanita memakai kain-kebaya dengan model rambut yang disanggul. Pesan verbal dalam iklan-iklan masa itu antara lain adalah kebiasaan untuk hidup berhemat, membangun pemuda dan rakyat yang kuat dengan bahan atau hasil produksi dari bumi Indonesia nan indah. Konsep komunikasi iklan yang digunakan pada waktu itu adalah dengan pendekatan peragaan, yaitu untuk mengambarkan keuntungan utama dari sebuah produk atau jasa dengan memperagakannya peristiwa penggunaannya, serta pendekatan dialog, yaitu adegan pembicaraan dimana salah seorang mempunyai pertanyaan, dan orang lain menjawabnya dengan menyarankan menggunakan suatu produk, dengan benefit hemat tetapi berkualitas. Hemat menjadi topik pada masa itu, karena kurangnya pasokan barang.
Iklan cetak Tahun 1950an  (Pikiran Rakjat)
   
Sejarah Iklan Periode Orde baru 
Barang-barang eceran yang diiklankan sekira 73% adalah produk internasional yang   mengalir masuk membanjiri Indonesia produk-produk itu berupa makanan, minuman, pakaian, obat-obatan dipasarkan untuk segenap  lapisan masyarakat di Indonesia, melalui jalur pemasaran yang kuat, termasuk dalam iklan.
Penggambaran figur terutama wanita, bukan lagi pakaian kain dan kebaya yang menutupi aurat, melainkan celana pendek atau “hot pants” yang memamerkan paha bahkan pusar, dengan sikap tubuh yang menantang- menggiurkan. Figur wanita masih figur Indonesia yang berambut hitam. Biro- biro iklan internasional dengan konsep  komunikasi dan konsep  kreatif yang diciptakan di negara asalnya, mentransformasi budaya western terhadap budaya Indonesia. Hasilnya adalah orang Indonesia tampil dalam iklan dengan pakaian dan perilaku seperti orang barat.
Iklan cetak tahun 1970an (Majalah Kartini).


Sejarah Iklan Periode  Reformasi 

Iklan cetak tahun 2000-an ( Pikiran Rakyat).

Penggambaran figur Indonesia dalam iklan menjadi semakin sedikit unsur lokalnya. Model iklan di gunakan yang berwajah Eropa, bahkan rambut di cat. Cara berpakaian dan bersikap sangat berbeda dengan iklan tahun 1950-an, untuk menggambarkan ide tentang ringan, terbang mengadopsi cerita manusia bersayap dari Yunani, bukan lagi  Dewi Nawangwulan atau Gatot kaca. Teks atau copy lebih suka menggunakan bahasa Inggris untuk meraih citra yang lebih tinggi.

Kesimpulan 
Apakah Indonesia sangat menarik untuk dijajah dan dijadikan target pasar. Sejak jaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang dan setelah mendapat kemerdekaannya pun tak lepas dari penjajahan. Penjajahan model masa kini sering disebut sebagai penjajahan budaya dan ekonomi, yang ujungnya adalah profit finansial bagi negara atau industri pengekspor, dan ini adalah paham global. Penjajahan masa kini tidak harus menggunakan serbuan tentara, melainkan serbuan  melalui budaya dan gaya hidup, yang barangsiapa  tidak mengikutinya akan dijuluki “kampungan” atau “jadul”. Serbuan budaya melalui musik, film dan dunia maya, yang dampaknya diantaranya adalah pada perilaku, warna rambut, idiom, bahkan bahasa dalam iklan serta pembawa acarapun mencampur-campur bahasa Indonesia dengan idiom-idiom bahasa Inggris-Amerika, bahkan lafal kata-kata bahasa Indonesiapun meniru pelafalan orang barat, yang menurutnya akan  mempunyai citra yang tinggi.

Dengan menggunakan istilah pasar bebas atau globalisasi, pendekatan dan strategi kreatif iklan semakin canggih, demikian pula media yang menyebarkannya. digunakannya  pendekatan gaya hidup atau “lifestyle”, yang menurut Michael Belch yaitu lebih menciptakan kebutuhan dari pada hanya sekedar bagaimana produk atau jasa melayani mereka, menyodorkan kepada khalayak  dengan  citraan  tentang  kehidupan  yang  mewah  dan  menyarankan untuk menambah kepemilikan materi yang dapat memuaskan dan membahagiakan serta kesenangan hidup, serta sebagai status simbol, keberhasilan serta mendapatkan pengakuan sosial sekaligus tersohor.

Secara perlahan masyarakat Indonesia mulai kehilangan jatidirinya, kebanggaan akan menggunakan produk lokal semakin menipis, kata-kata “buatan lokal” berkonotasi buruk, cepat rusak. Masyarakat semakin menyukai segala sesuatu yang berbau luar negeri, terutama  Amerika. Semboyan “berdikari” semakin kabur dan ditinggalkan. Keluaran dalam iklan adalah visualisasi dari figur Indonesia dengan sikap, perilaku dan idiom “western”.

Sumber:
Didit Widiatmoko Suwardikun Karakter Visual Keindonesiaan dalam Iklan Cetak di Indonesia

Referensi 
[1]     Belch, George E & Michael A. 1998. Advertising and Promotion, Mc
Graw Hill Companies, Inc., Boston, Massachusetts. 
[2]     Collier, John. 1992.  Visual Anthropology, University of New Mexico
Press, Alburquerque. 
[3]     Krugman,   D.M,   Reid   L.N.,   Dunn   S.W.   &   Barban,   A.M.   1994.
Advertising, The Dryden Press, Sydney. 
[4]     Pitaloka,  Dyah.  2008.  Mencari  Karakter  Indonesia  dalam  Iklan  Kita, Majalah Cakram, no 2 286, hal 30. 
[5]     Sultan  Hamengkubuwono  X.  2007.  Merajut  Kembali  Keindonesiaan
Kita, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 
[6]     Rais, Mohammad Amien. 2008. Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan
Indonesia, Mizan & PPSK, Yogyakarta. 
[7]     Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (historical Explanation), Tiara
Wacana, Yogyakarta 
[8]     Riclef, H.C. 1991. Sejarah Indonesia Moderen, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta. 
[9]     Setiyono,   Budi.   (ed.).   2004.   Reka  Reklame  :  Sejarah  Periklanan Indonesia   1774-1984,   Persatuan   Perusahaan   Periklanan   Indonesia, Jakarta dan Galang Press, Yogyakarta. 
[10]   Riyanto, Bedjo. 2000. Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat Di
Jawa Masa Kolonial (1870-1915), Tarawang, Yogyakarta. 
[11]   Surjomiharjo, A., et al. 2002. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers
Di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. [12]   Majalah Jawa Baroe. 1943.
[13]   Winarno, B. 2008. Rumah Iklan: Upaya Matari Menjadikan Periklanan Indonesia Tuan Rumah Di Negeri Sendiri, Kompas Media Nusantara, Jakarta. 
[14]   Setiyono, Budi. (penyunting). 2005. Cakap Kecap(1972-2003), Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia, Jakarta dan Galang Press, Yogyakarta. [15]   De locomotief. 1908.
[16]   Koran Pikiran Rakjat. 1952.  

[17]   Majalah Kartini, Agustus. 1976. [18]   Koran Pikiran Rakyat, Juli 2007.

0 Response to "Sejarah Periklanan Indonesia Sampai Iklan Modern Mulai Muncul"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel