Sejarah Periklanan Indonesia Sampai Iklan Modern Mulai Muncul
Selasa, 21 November 2017
Add Comment
Mulai dari
bangun pagi hingga berangkat tidur dimalam hari, kita masyarakat kerap bersentuhan
dengan iklan. Iklan-iklan tersebut mempersuasi pengamat sehingga secara tidak sadar
telah dipengaruhi iklan. Hal itu seperti pemilihan style pakaian, merk jam-tangan, sepatu dan
demikian juga barang konsumsi seperti makanan, minuman dan rokok, dan ketika membelinya, benda-benda itu secara tak sadar sebenarnya mengacu pada merek tertentu yang pernah
diiklankan.
Sebenarnya Iklan diperlukan produsen untuk mengumumkan produknya
dan juga diperlukan
konsumen untuk mengetahui informasi mengenai produk yang dibutuhkan. Setiap hari
berbagai produk consumer goods dikomunikasikan baik melalui iklan dimedia massa,
media luar ruang maupun melalui kemasan yang menarik.
Sejarah Periklanan Indonesia Sampai Iklan Modern Mulai Muncul
Periklanan modern di
Indonesia diperkirakan hadir pada awal abad 20, semasa penjajahan Belanda, pada
masa itu mulailah iklan atau advertentie untuk barang-barang import bagi orang Belanda
di tanah jajahannya. Kemudian berkembang pesat ketika masa kemerdekaan dan masa
pembangunan industri di Indonesia.
Bahasan dalam tulisan ini adalah
ilustrasi atau penggambaran tokoh atau figur dalam iklan, karena ilustrasi dalam
hal ini berperan sebagai alat persuasi visual. Berbagai gaya persuasi visual yang
ditampilkan dalam iklan, ada yang menggunakan nilai-nilai lokal, namun ada pula
yang menggunakan nilai-nilai global.
Iklan dan periklanan tidak hanya
bertujuan menawarkan dan mempengaruhi masyarakat untuk membeli barang atau jasa,
tetapi juga turut menularkan nilai- nilai dan ideologi tertentu yang terpendam didalamnya.
Ideologi barat seperti gender, cowboy, budaya mengadu nasib, desakralisasi etnik,
degradasi norma ketimuran, demitosisasi, dan hedonisme, hal-hal semacam ini dalam
iklan dikemas secara simbolik dan divisualisasikan seolah semuanya menjadi masuk
akal. contoh ketika orang mengendarai motor Harley Davidson maka ia merasakan kebebasan berkendara karena harley davidson di buat dengan melambangkan kebebasan dari negara pembuatnya.
Sejarah Dunia Periklanan Indonesia
Periklanan masuk ke Indonesia
sejak jaman kolonial Belanda yang menurut
sejarah periklanan Indonesia ditandai dengan terbitnya Bataviasche Nouvelles pada
tanggal 8 Agustus 1744, dapat dikatakan sebagai lembaran iklan, karena sebagian
besar berita yang dimuat adalah iklan perdagangan pelelangan dan pengumuman pemerintah
VOC.
Pada awalnya iklan-iklan surat kabar digunakan untuk kepentingan penjualan
produk-produk konsumen dari Belanda kepada orang-orang Belanda di tanah
jajahannya, kemudian juga ditujukan
untuk khalayak pribumi, karena diberlakukannya politik balas budi atau politik “Ethis”
oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal 1900an, ditandai dengan mulai munculnya golongan pribumi terpelajar yang berbahasa Belanda, sehingga ada dugaan bahwa dalam
iklan juga digunakan unsur-unsur yang berciri pribumi.
Selanjutnya media surat kabar dan periklanan berkembang pesat hingga mendatangkan pelukis-pelukis iklan dari Eropa. Dari catatan sejarah periklanan,
sejak jaman Belanda masyarakat di pulau Jawa mulai mengadaptasi adat Belanda, diantaranya
adalah kebiasaan toast dengan minuman keras pada upacara resmi di keraton, diawali
dari raja dan para bangsawan tinggi kemudian diikuti oleh bangsawan-bangsawan dengan
tingkat yang lebih rendah dan seterusnya, sehingga pada jaman itu sesuatu yang ideal
adalah menjadi Belanda. Iklan berperan dalam perubahan masyarakat di Jawa pada masa
Kolonial.
Pada tahun 1942 Pendudukan pasukan
Jepang di Indonesia dengan slogan
3A: Jepang Pelindung Asia, Cahaya
Asia, Pemimpin Asia, sebagai kekuatan ekonomi baru bahkan
mulai menggunakan media periklanan untuk menanamkan pengaruh politiknya, baik terhadap
penduduk bumiputera maupun Tionghoa dan Eropa.
Menurut Riclef, untuk memusnahkan
pengaruh barat (Belanda), pihak Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa
Inggris serta menggantikannya dengan penggunaan bahasa Jepang. Hal ini berlangsung
dari tahun 1942 sampai 1945.
Menurut buku sejarah Pers di Indonesia, di zaman Jepang,
pers memang hanya digunakan untuk kepentingan propaganda balatentara Dai Nippon,
guna menunjang usaha-usaha perjuangannya. Surat kabar yang boleh terbit juga sangat
dibatasi, dan semua berada di bawah pengawasan ketat penguasa militer. Dalam
media cetak koran dan majalah selalu ada artikel pelajaran bahasa Jepang untuk rakyat Indonesia, namun ternyata tidak
mudah memaksa mengajarkan bahasa asing baru kepada bangsa Indonesia, maka penggunaan
bahasa Indonesia menjadi lebih marak.
Di jaman
penjajahan Jepang masyarakat Indonesia diharuskan mengikuti upacara "menghormat Kaisar” yaitu berbaris dan membungkuk kearah negara Jepang dalam kondisi terik matahari.
Bahkan
teater untuk tontonan rakyatpun menampilkan
tentang fragmen-fragmen interaksi masyarakat Indonesia dengan pasukan Jepang
salah satunya adalah berjudul “Toeroet dengan Amat”. Tokoh Amat adalah orang Indonesia
yang direkrut Jepang menjadi serdadu untuk berperang (majalah Jawa Baroe [12]),
terlihat dari pakaian-pakaian pemainnya, yang pria memaki pakaian serdadu Jepang
dan pemain wanita mengenakan kain-kebaya.
![]() |
Sandiwara Rakyat Majalah Jawa Baroe |
Setelah Indonesia merdeka tanggal
17 Agustus 1945, Jepang kalah perang dan
menyerah kepada sekutu. Jepang meninggalkan Indonesia dalam kondisi sudah terbentuknya
semangat bangsa Asia yang anti Barat. Gejolak revolusi dan perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan masih terus
berlanjut hingga Belanda mengakui eksistensi
Indonesia.
Menurut Bondan Winarno setelah
Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949, perekonomian dan periklanan di Indonesia
mulai menggeliat kembali dari kehancuran seusai perang kemerdekaan.
Tahun 1950an, rakyat
Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit dari keterpurukan dan ketiadaan pasokan barang. Walaupun perusahaan-perusahaan besar milik Belanda seperti Unilever dan Borsumij
masih ada, karena kurangnya pasokan maka rakyat pun mulai berdaya, barang- barang
lokal pun mulai diproduksi dan diberi merek.
Meniru konsep Mahatma Gandhi “Swadeshi”
Indonesiapun mempunyai istilah “Berdikari” singkatan dari berdiri diatas kaki sendiri,
maksudnya negara yang dibangun berdasarkan kemampuan sendiri, bukan hasil dari pinjaman
dan pasokan negara lain. Dengan segala keterbatasan, namun bangsa Indonesia memiliki
jatidiri yang kuat dan tercatat bahwa saat itu hutang luar negeri Indonesia masih
sedikit. Tahun 1959 terjadi nasionalisasi
perusahaan-perusahaan bekas milik Belanda dan orang- orang Belanda pemiliknya pulang ke negerinya,
sehingga banyak perusahaan iklan milik Belanda yang tutup, hal ini memberikan kesempatan pada pengusaha-pengusaha iklan lokal untuk berkembang.
Mulai bermunculan media cetak lokal dan biro iklan lokal, iklan-iklan mulai muncul
dengan visualisasi kebanggaan akan Indonesia.
Tahun 1965 terjadi pergantian
kekuasaan negara dari Orde Lama (Soekarno) ke Orde Baru (Soeharto), yang pada tahun
1968 mengambil kebijakan tentang Penanaman Modal Asing (PMA), berarti mulai
dibukanya tameng perlindungan kepada usaha-usaha lokal yang pada saat itu baru mulai dan sedang berkembang, hingga tahun 1970an advertising
agencies kelas dunia dari Amerika, Eropa,
Australia dan Jepang mulai masuk
dengan cara membuka perwakilan atau ber partner dengan perusahaan
Indonesia. Mereka membawa budaya perusahaan dan konsep komunikasi dari negara asalnya
dan mengaplikasikannya secara pragmatis kepada partner Indonesianya. Ada pula yang
menyebut hal ini adalah awal dari era periklanan moderen di Indonesia. Kenyataannya
Indonesia dianggap sebagai target market yang potensial bagi produk impor karena
jumlah penduduknya yang sangat banyak dan sebagian besar masyarakat Indonesia terdiri dari orang-orang
yang lugu atau rendah dalam taraf pendidikan dan cara berpikir. Terlebih
lagi pertumbuhan perekonomian yang cerah sejak orde baru membuat pasar Indonesia
menjadi penting bagi produk-produk mancanegara yang berasal dari Amerika, Jepang
dan Eropa. Pada tahun 1976 misalnya, sekitar 73% dari produk yang diiklankan adalah
produk impor [14].
Dalam dunia periklanan Indonesia mulai terjadi friksi budaya,
yang beberapa tokoh periklanan senior menyebutnya “sinkretisme” dalam periklanan.
Untuk memasarkan barang dagangannya, importir dan distributor barang-barang produksi
luar negeri yang semula menggunakan biro-biro iklan lokal, mereka mulai menggunakan
biro-biro iklan sesuai dengan asal barang tersebut, seperti barang-barang Jepang
di tangani oleh biro iklan asal Jepang, demikian juga dengan barang-barang Amerika
dan Eropa.
Periode Iklan Jaman Belanda
Iklan-iklan cetak berilustrasi
pada awal tahun 1900-an masih di dominasi oleh iklan produk impor, walaupun ada
sedikit produk lokal seperti teh, tembakau dan obat. Ilustrasi iklan pada masa ini
masih sedikit yang menampilkan figur dan karakter Indonesia. Jika pun ada, ilustrasi
figur Indonesia ini diposisikan sebagai obyek
atau pelengkap penderita, caranya dengan menampilkan secara frontal tampak depan
atau tampak samping seperti meotret pesakitan, sedangkan figur Belanda pada saat
itu ditampilkan dengan pandangan menyudut
atau tidak frontal. Pesan-pesan verbal masih sekitar manfaat produk dan keuntungan
menjadi penyalurnya. Pesan belum menjadi single minded message. Pada iklan- iklan
periode akhir penjajahan Belanda sudah mulai
muncul ilustrasi dengan figur ber karakter Indonesia, namun belum banyak berperan
sebagai subyek dalam iklan, figur-figur itu hanya bersifat memeragakan. Penggunaan
bahasa sebagian masih menggunakan bahasa Belanda, kalaupun ada bahasa Indonesia
masih tergolong bahasa Melayu-pasar.
![]() |
Iklan cetak jaman penjajahan Belanda (De locomotief ) |
Periode Iklan Jaman Jepang
Dalam iklan, yang sebelumnya menampilkan
figur iklan berwajah Eropa di ganti
dengan figur model iklan berwajah Jepang
dengan sikap seperti figur Eropa, digambarkan dengan pandangan menyudut. Mulai muncul
figur dan wajah Indonesia sebagai tokoh
yang menjadi subyek atau tokoh dalam iklan. Contohnya iklan “Asia Katja Mata” mulai
menggambarkan orang Indonesia sebagai “Tuan” yang mengenakan jas, dasi dan berkopiah,
sedangkan tokoh mata-mata mengenakan jas dengan model topi yang sering dipakai orang
Eropa. Slogan iklan bernuansa kewaspadaan akan perang. Ada pula iklan-iklan berslogan
semangat Asia Timur Raya. Beberapa iklan menggunakan huruf Jepang, dan nama produsen
menggunakan nama-nama Jepang. Dalam perioda ini figur berkarakter
Indonesia mulai muncul
sebagai subyek yaitu
sebagai tokoh yang sedang berdialog mengenai
suatu produk.
![]() |
Iklan cetak jaman penjajahan Jepang (majalah Djawa Baroe) |
Iklan Periode
Tahun 1950-an
Karakter visual Indonesia pada
iklan paling menonjol pada iklan-iklan periode
1950-an. Visual, penggambaran
figur iklan banyak mengikuti figur ideal, tokoh
pria digambarkan memiliki tanda-tanda
seperti tokoh idola masyarakat pada saat itu, tokoh yang memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia, dan saat itu adalah euphoria lepas dari belenggu penjajahan. Figur pria
digambarkan ber jas, dasi dan berkopiah, sedangkan tokoh wanita digambarkan sebagai
pendamping dan penyokong pria dalam bekerja, wanita memakai kain-kebaya dengan model
rambut yang disanggul. Pesan verbal dalam iklan-iklan masa itu antara lain adalah
kebiasaan untuk hidup berhemat, membangun pemuda dan rakyat yang kuat dengan bahan
atau hasil produksi dari bumi Indonesia nan indah. Konsep komunikasi iklan yang
digunakan pada waktu itu adalah dengan pendekatan peragaan, yaitu untuk mengambarkan
keuntungan utama dari sebuah produk atau jasa dengan memperagakannya peristiwa penggunaannya,
serta pendekatan dialog, yaitu adegan pembicaraan dimana salah seorang mempunyai
pertanyaan, dan orang lain menjawabnya dengan menyarankan menggunakan suatu produk,
dengan benefit hemat tetapi berkualitas. Hemat menjadi topik pada masa itu, karena
kurangnya pasokan barang.
![]() |
Iklan cetak Tahun 1950an (Pikiran Rakjat) |
Sejarah Iklan Periode
Orde baru
Barang-barang eceran yang diiklankan
sekira 73% adalah produk internasional yang
mengalir masuk membanjiri Indonesia produk-produk itu berupa makanan, minuman, pakaian, obat-obatan dipasarkan untuk segenap lapisan masyarakat di Indonesia, melalui jalur
pemasaran yang kuat, termasuk dalam iklan.
Penggambaran figur terutama wanita, bukan lagi pakaian kain dan
kebaya yang menutupi aurat, melainkan celana pendek atau “hot pants” yang memamerkan
paha bahkan pusar, dengan sikap tubuh yang menantang- menggiurkan. Figur wanita
masih figur Indonesia yang berambut hitam. Biro- biro iklan internasional dengan
konsep komunikasi dan konsep kreatif yang diciptakan di negara asalnya, mentransformasi
budaya western terhadap budaya Indonesia. Hasilnya adalah orang Indonesia tampil
dalam iklan dengan pakaian dan perilaku seperti orang barat.
![]() |
Iklan cetak tahun 1970an (Majalah Kartini). |
Penggambaran figur Indonesia
dalam iklan menjadi semakin sedikit unsur lokalnya. Model iklan di gunakan yang
berwajah Eropa, bahkan rambut di cat. Cara berpakaian dan bersikap sangat berbeda dengan iklan tahun 1950-an, untuk menggambarkan ide tentang ringan, terbang mengadopsi cerita
manusia bersayap dari Yunani, bukan lagi Dewi Nawangwulan atau Gatot kaca. Teks atau copy
lebih suka menggunakan bahasa Inggris untuk meraih citra yang lebih tinggi.
Kesimpulan
Apakah Indonesia sangat menarik untuk
dijajah dan dijadikan target pasar. Sejak jaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang
dan setelah mendapat kemerdekaannya pun tak lepas dari penjajahan. Penjajahan model masa kini sering disebut sebagai penjajahan budaya dan ekonomi,
yang ujungnya adalah profit finansial bagi negara atau industri pengekspor, dan
ini adalah paham global. Penjajahan masa kini tidak harus
menggunakan serbuan tentara, melainkan serbuan
melalui budaya dan gaya hidup, yang barangsiapa tidak mengikutinya akan dijuluki “kampungan” atau
“jadul”. Serbuan budaya melalui musik, film dan dunia maya, yang dampaknya diantaranya adalah pada perilaku, warna rambut, idiom, bahkan bahasa
dalam iklan serta pembawa acarapun mencampur-campur
bahasa Indonesia dengan idiom-idiom bahasa Inggris-Amerika, bahkan lafal kata-kata
bahasa Indonesiapun meniru pelafalan orang barat, yang menurutnya akan mempunyai
citra yang tinggi.
Dengan menggunakan istilah pasar
bebas atau globalisasi, pendekatan dan strategi kreatif iklan semakin canggih, demikian
pula media yang menyebarkannya. digunakannya pendekatan gaya hidup atau “lifestyle”, yang menurut
Michael Belch yaitu lebih menciptakan kebutuhan dari pada hanya sekedar bagaimana
produk atau jasa melayani mereka, menyodorkan kepada khalayak dengan citraan tentang kehidupan yang mewah
dan menyarankan untuk menambah kepemilikan materi yang
dapat memuaskan dan membahagiakan serta kesenangan hidup, serta sebagai status simbol,
keberhasilan serta mendapatkan pengakuan sosial sekaligus tersohor.
Secara perlahan masyarakat Indonesia
mulai kehilangan jatidirinya, kebanggaan akan menggunakan produk lokal semakin menipis, kata-kata “buatan lokal” berkonotasi buruk, cepat
rusak. Masyarakat semakin menyukai segala sesuatu yang berbau luar negeri, terutama Amerika. Semboyan “berdikari” semakin kabur dan ditinggalkan.
Keluaran dalam iklan adalah visualisasi dari figur Indonesia dengan sikap, perilaku
dan idiom “western”.
Sumber:
Didit Widiatmoko Suwardikun Karakter Visual Keindonesiaan dalam Iklan Cetak di Indonesia
Referensi
[1] Belch,
George E & Michael A. 1998. Advertising and Promotion, Mc
Graw Hill Companies, Inc., Boston,
Massachusetts.
[2] Collier,
John. 1992. Visual Anthropology, University
of New Mexico
Press, Alburquerque.
[3] Krugman, D.M, Reid L.N., Dunn S.W. & Barban, A.M. 1994.
Advertising, The Dryden Press,
Sydney.
[4] Pitaloka,
Dyah. 2008. Mencari
Karakter Indonesia dalam Iklan Kita, Majalah Cakram, no 2 286, hal 30.
[5] Sultan
Hamengkubuwono X. 2007.
Merajut Kembali Keindonesiaan
Kita, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
[6] Rais,
Mohammad Amien. 2008. Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan
Indonesia, Mizan & PPSK,
Yogyakarta.
[7] Kuntowijoyo.
2008. Penjelasan Sejarah (historical Explanation), Tiara
Wacana, Yogyakarta
[8] Riclef,
H.C. 1991. Sejarah Indonesia Moderen, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
[9] Setiyono, Budi.
(ed.). 2004. Reka Reklame : Sejarah
Periklanan Indonesia 1774-1984, Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia, Jakarta dan
Galang Press, Yogyakarta.
[10] Riyanto,
Bedjo. 2000. Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat Di
Jawa Masa Kolonial (1870-1915),
Tarawang, Yogyakarta.
[11] Surjomiharjo,
A., et al. 2002. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers
Di Indonesia, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta. [12] Majalah Jawa Baroe. 1943.
[13] Winarno,
B. 2008. Rumah Iklan: Upaya Matari Menjadikan Periklanan Indonesia Tuan Rumah Di
Negeri Sendiri, Kompas Media Nusantara, Jakarta.
[14] Setiyono,
Budi. (penyunting). 2005. Cakap Kecap(1972-2003), Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia,
Jakarta dan Galang Press, Yogyakarta. [15]
De locomotief. 1908.
[16] Koran Pikiran
Rakjat. 1952.
[17] Majalah
Kartini, Agustus. 1976. [18] Koran Pikiran Rakyat, Juli 2007.
0 Response to "Sejarah Periklanan Indonesia Sampai Iklan Modern Mulai Muncul"
Posting Komentar